Sepotong Cerita dari Ende

Pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Flores, rasa asing sempat menghinggapi. Suasana berbeda dari Pulau Jawa yang ramai serta orang-orang berparas tinggi tegap semakin membuat saya merasa yakin bahwa
ini benar-benar nyata. Sederetan kata ‘Kampuang Nun Jauh di Mato’ terasa lekat sekali. Tepatnya di kabupaten Ende, saya akan mengabdi selama satu tahun. Ende merupakan sebuah kota kecil di Pulau Flores dan memiliki wilayah terpisah di suatu pulau kecil bernama Pulau Ende. Kabupaten Ende terletak setelah kabupaten Manggarai dan kabupaten Ngada di barat. Ende memiliki 21 kecamatan yang tersebar di berbagai wilayah seperti pesisir, bukit dan gunung. Namun sebagian besar wilayah Ende berupa bukit. Bahkan dari pusat kota pun hanya terlihat bukit dan dataran tinggi.

     Kabupaten Ende terdiri dari 2 suku, yaitu suku Ende dengan bahasa Ende dan suku Lio dengan bahasa Lio. Suku Ende lebih banyak hidup di kota, sedangkan suku Lio hidup di daerah pedalaman. Mayoritas masyarakat di sini beragama Katolik, meskipun adapula yang beragama  Islam, Hindu, Kristen dan Budha. Warga Muslim banyak ditemukan di daerah pesisir dan kota. Walaupun demikian, toleransi masyarakat berjalan baik. Kehidupan beragama berjalan dinamis dan harmonis.
 ende1
     Ada satu hal unik saya temukan di kota ini. Yaitu tidak ada seorang peminta-minta (gelandangan dan pengemis). Orang-orang di sini memiliki prinsip untuk tidak meminta. Saya sempat berpikir ‘Andai saja Pulau Jawa seperti ini’. Kehidupan mereka sangat sederhana. Selama masih dapat mengisi perut, mereka selalu bersyukur. Terkadang makan nasi hanya dengan lauk sayur yang ditumis atau berkuah. Ladang mereka luas dan ditanam bermacam-macam tanaman. Pohon kemiri merupakan komoditi terbesar di kota ini. Selain itu tanaman kopi, cengkeh dan kakao dipastikan selalu ada di ladang-ladang warga. Kopi Flores terkenal enak di kalangan warga. Rasanya tidak begitu masam dan pengolahan masih manual serta tradisional tanpa tambahan apapun. Soal tanaman di ladang pun mereka biarkan tumbuh, bahkan hampir tidak ada perawatan. Semua masih alami.
     Nah, empat hari menunggu, tibalah saatnya pembagian sekolah. Saya mendapatkan tempat tugas di kecamatan Detukeli, tepatnya di desa Kebesani Nua Pu kampung Wolobetho. Bersama dengan 2 kawan dari UNNES (Universitas Negeri Semarang) dan 2 kawan dari UNP (Universitas Negeri Padang) kami mendidik dan mengajar di SMKN 6 Ende, sebuah sekolah baru dengan 23 siswa dan baru berjalan 3 bulan. Gedung sekolah masih menggunakan bangunan koperasi yang terbuat dari bambu. Sekolah ini mengkhususkan diri di bidang pertanian. Meskipun sekolah ini baru berdiri, namun kemampuan siswanya tidak kalah jauh dengan siswa di Jawa. Hanya saja pendidikan mereka kurang terfasilitasi. Ketika pertama kali masuk kelas, mereka akan segera berdiri dan mengucap salam. Di setiap awal dan akhir mata pelajaran, mereka akan berdoa. Saya sempat terperangah juga melihat kesantunan siswa yang begitu hormat kepada guru. Mereka pun selalu menyapa para guru walaupun di luar jam pelajaran.
     Sebagai seorang guru Bahasa Inggris, saya harus berpikir bagaimana caranya mereka mampu dan mau berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Berdasar dari alasan tersebut, saya melakukan sedikit trik agar mereka dengan senang hati maju ke depan kelas. Setidaknya untuk memperkenalkan diri serta mengisi jawaban di papan tulis. Saya memberikan award berupa ‘Jenang Kudus’. Setiap siswa yang maju akan mendapat satu buah jenang. Pada awalnya saya kira mereka tidak begitu suka. Namun pemikiran itu hilang tatkala hampir semua siswa maju ke depan. Tanpaknya mereka menyukai makanan khas kota Kudus ini. Bahkan di akhir kelas, ada satu anak meminta lagi satu buah jenang.
     Hidup jauh dari tempat tinggal memang berat. Akan tetapi di saat kita menikmati segala yang ada, semua terasa ringan. Di desa tempat saya tinggal merupakan kampung adat yang kaya akan air dan sumber daya alam. Saya harus tahan hidup tanpa listrik dan susah mendapat sinyal. Inilah pengalaman hidup yang tidak akan terganti. Indonesia begitu luas. Para pemuda bangsa membutuhkan uluran seorang guru untuk turut membangun negara ini. Bila perlu, hayati lirik lagu ‘Indonesia Pusaka’ dan ‘Tanah Air’. Terima kasih SM3T. Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal.

Dian Safitri (Mahasiswi PBI UMK peserta program SM3T)

1 komentar:

  1. Assalamualaikum... Maaf mbak Dian Safitri, boleh minta CP nya? Saya ingin tanya". Salam kenal dan terimakasih :)

    ReplyDelete