Bawa Kultur Lokal dalam ICELT 2014

Salah seorang dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (Progdi PBI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muria Kudus (UMK), Fajar Kartika, S.S, M.Hum, berkesempatan mengikuti International Conference on English Language Teaching (ICELT) di Ho Chi Minh City, Vietnam pada 23 – 26 Oktober lalu.

Fajar Kartika 
International Conference on English Language Teaching (ICELT)
Ajang pertukaran ide 2 tahunan ini diikuti oleh 300 peserta, terdiri dari dosen dan peneliti bahasa. Peserta didominasi oleh warga Asia seperti Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Kamboja, Thailand dan Laos. Peserta terbanyak berasal dari Malaysia. Meskipun demikian adapula perwakilan dari Negara Barat seperti dari Amerika, Inggris dan Rusia.
ICELT ini merupakan acara berbasis kampus yang diciptakan oleh University of Social Sciences and Humanity, Faculty of English Literature dan telah terselenggara sebanyak 8 kali.

Dalam forum tersebut, Fajar Kartika mempresentasikan hasil penelitiannya mengenai pengajaran Bahasa Inggris dengan menggunakan kultur lokal. Penggunaan cerita lokal jauh lebih bernilai daripada meminjam cerita dari Negara lain. Dengan cara seperti ini akan mampu mengembalikan bahasa kepada hakikatnya, yaitu alat komunikasi.

“Misalnya guru ingin mengajar tentang ‘Direction’, mereka bisa mengambil contoh bagaimana jalur yang ditempuh jika ingin pergi dari kantor kecamatan ke Hypermart. Jadi, materi ‘Direction’ tidak harus memakai peta bertuliskan New York atau Tokyo,” ujarnya menjelaskan.

Penelitiannya dilakukan selama 2 bulan bersama 7 siswa SMP dan 5 siswa SMA. Dalam kurun waktu 2 minggu, telah terjadi perubahan paradigma pada cara berpikir anak. Mereka mulai berani berbicara, bahkan ketika diminta untuk berkomunikasi dengan seorang native speaker, anak-anak tidak memakai pola pertanyaan seperti “What is your favorite food?” atau “How long have you been here?”. Namun secara alami, mereka berkomunikasi di luar tema itu.

Ia juga bercerita bahwa selama tinggal di Vietnam, hampir semua orang yang ditemui bisa berbahasa Inggris dengan baik. Meskipun mereka masih mengalami ketidak tepatan pengucapan dan membuat missed communication. Salah satu penyebab meratanya pembelajaran Bahasa Inggris di sana ialah penggunaan kultur lokal tersebut. Efek samping dari pembiasaan tersebut membuat karakter asli bangsa tidak hilang.

“Saya menyadari bahwa saya tidak sendiri mengenai ide kultur lokal tersebut, karena Vietnam secara kenegaraan mampu melakukan hal tersebut dan bisa dilihat hasilnya secara langsung,” pungkasnya.

Pengalaman hidup di Vietnam memberinya pengalaman dan pembelajaran. Selama berkomunikasi dengan masyarakat di sana, ia menuturkan bahwa masalah yang dimiliki orang Vietnam dalam pembelajaran Bahasa Inggris terletak pada pelafalan. Hal ini dikarenakan mereka terganggu dengan logat bahasa Vietnam itu sendiri. Namun untuk persoalan merangkai kata, mereka lebih lihai daripada orang Indonesia.

“Ada satu pengalaman ketika saya bertanya tentang bis mana yang harus dipakai menuju hotel. Terjadi kesalahpahaman akibat pengucapan yang salah. Saat saya mengucapkan ‘take a bus’, mereka menegaskan kembali dengan ‘take a bath’. Saya baru menyadari bahwa mereka tidak bisa mengucap huruf ‘S’ tanpa vocal/mati,” ujarnya mengakhiri cerita.

0 komentar:

Post a Comment