Salah seorang dosen Program Studi
Pendidikan Bahasa Inggris (Progdi PBI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Universitas Muria Kudus (UMK), Fajar Kartika, S.S, M.Hum, berkesempatan
mengikuti International Conference on English Language Teaching (ICELT) di Ho
Chi Minh City, Vietnam pada 23 – 26 Oktober lalu.
Ajang pertukaran ide 2 tahunan ini diikuti
oleh 300 peserta, terdiri dari dosen dan peneliti bahasa. Peserta didominasi
oleh warga Asia seperti Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Kamboja, Thailand dan
Laos. Peserta terbanyak berasal dari Malaysia. Meskipun demikian adapula
perwakilan dari Negara Barat seperti dari Amerika, Inggris dan Rusia.
Fajar Kartika International Conference on English Language Teaching (ICELT) |
ICELT ini merupakan acara berbasis kampus
yang diciptakan oleh University of Social Sciences and Humanity, Faculty of
English Literature dan telah terselenggara sebanyak 8 kali.
Dalam forum tersebut, Fajar Kartika
mempresentasikan hasil penelitiannya mengenai pengajaran Bahasa Inggris dengan
menggunakan kultur lokal. Penggunaan cerita lokal jauh lebih bernilai daripada
meminjam cerita dari Negara lain. Dengan cara seperti ini akan mampu
mengembalikan bahasa kepada hakikatnya, yaitu alat komunikasi.
“Misalnya guru ingin mengajar tentang
‘Direction’, mereka bisa mengambil contoh bagaimana jalur yang ditempuh jika
ingin pergi dari kantor kecamatan ke Hypermart. Jadi, materi ‘Direction’ tidak
harus memakai peta bertuliskan New York atau Tokyo,” ujarnya menjelaskan.
Penelitiannya dilakukan selama 2 bulan
bersama 7 siswa SMP dan 5 siswa SMA. Dalam kurun waktu 2 minggu, telah terjadi
perubahan paradigma pada cara berpikir anak. Mereka mulai berani berbicara,
bahkan ketika diminta untuk berkomunikasi dengan seorang native speaker, anak-anak tidak memakai pola pertanyaan seperti
“What is your favorite food?” atau “How long have you been here?”. Namun secara
alami, mereka berkomunikasi di luar tema itu.
Ia juga bercerita bahwa selama tinggal di
Vietnam, hampir semua orang yang ditemui bisa berbahasa Inggris dengan baik.
Meskipun mereka masih mengalami ketidak tepatan pengucapan dan membuat missed communication. Salah satu
penyebab meratanya pembelajaran Bahasa Inggris di sana ialah penggunaan kultur
lokal tersebut. Efek samping dari pembiasaan tersebut membuat karakter asli
bangsa tidak hilang.
“Saya menyadari bahwa saya tidak sendiri
mengenai ide kultur lokal tersebut, karena Vietnam secara kenegaraan mampu
melakukan hal tersebut dan bisa dilihat hasilnya secara langsung,” pungkasnya.
Pengalaman hidup di Vietnam memberinya
pengalaman dan pembelajaran. Selama berkomunikasi dengan masyarakat di sana, ia
menuturkan bahwa masalah yang dimiliki orang Vietnam dalam pembelajaran Bahasa
Inggris terletak pada pelafalan. Hal ini dikarenakan mereka terganggu dengan
logat bahasa Vietnam itu sendiri. Namun untuk persoalan merangkai kata, mereka
lebih lihai daripada orang Indonesia.
“Ada satu pengalaman ketika saya bertanya
tentang bis mana yang harus dipakai menuju hotel. Terjadi kesalahpahaman akibat
pengucapan yang salah. Saat saya mengucapkan ‘take a bus’, mereka menegaskan
kembali dengan ‘take a bath’. Saya baru menyadari bahwa mereka tidak bisa
mengucap huruf ‘S’ tanpa vocal/mati,” ujarnya mengakhiri cerita.
0 komentar:
Post a Comment